Sabtu, 17 Desember 2011

MANAJEMEN DASAR CAIRAN

Komposisi cairan tubuh Cairan tubuh memiliki berat total mencapai 50-60% dari berat badan seseorang, dengan proporsi terbesar ada pada ruang intrasel (sekitar 2/3 dari total cairan). Proporsi cairan tubuh ini menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir proporsinya mencapai 75% dari berat badan sedangkan pada orang lanjut usia hanya sekitar 55%. Cairan antar ruang dapat saling bergerak (difusi) sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui respon terhadap gradien konsentrasi elektrolit. Elektrolit utama pada ruang intrasel adalah potasium (K+), sedangkan natrium (Na+) lebih banyak berada di ruang ekstrasel. Volume ekstrasel terbagi menjadi volume interstitial dan intravaskuler. Secara normal, keseimbangan cairan intravaskuler dijaga oleh adanya tekanan onkotik yang berasal dari molekul-molekul intravaskuler yang berukuran besar, pergerakan cairan limfe dari interstitial ke intravaskuler, serta adanya tekanan yang mempertahankan volume ekstrasel tetap. Semua faktor tersebut akan membuat cairan masuk ke dalam ruang intravaskuler. Sedangkan faktor yang berlawanan seperti adanya tekanan hidrostatik oleh jantung dan sirkulasi serta tekanan onkotik cairan interstitial akan menyebabkan cairan keluar dari ruang intravaskuler. Keseimbangan kedua faktor inilah yang akan menjaga kestabilan hemodinamik intravaskuler seseorang yang penting untuk mengadakan sirkulasi adekuat yang diperlukan oleh sistim organ tubuh. Pada kondisi normal, cairan tubuh manusia didistribusikan intrasel dan ekstrasel dengan perbandingan yang tetap. Dengan demikian segala kondisi yang dapat merubah komposisi tersebut akan mengakibatkan ketidak seimbangan hemodinamik yang dapat menjadi fatal. Kondisi hipovolemia memiliki arti dimana terdapat penurunan volume intravaskuler yang tidak mempengaruhi kondisi volume interstitial. Sedangkan yang dimaksud dengan hipervolemia adalah kondisi peningkatan volume intervaskuler baik disertai peningkatan volume interstitial maupun tidak. Cairan Kristaloid Merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit dan harga lebih murah. Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%, ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%), serta sodium bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi urin. Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera. Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid. 1. Normal Saline Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154. Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml. Indikasi : a. Resusitasi Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler. b. Diare Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, cairan NaCl digunakan untuk mengganti cairan yang hilang tersebut. c. Luka Bakar Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler dalam jumlah besar dari permukaan tubuh yang terbakar. Untuk mempertahankan cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan NaCl, ringer laktat, atau dekstrosa. d. Gagal Ginjal Akut Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal menjaga homeostasis tubuh. Keadaan ini juga meningkatkan metabolit nitrogen yaitu ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian normal saline dan glukosa menjaga cairan ekstra seluler dan elektrolit. Kontraindikasi : hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi renal, hipertensi, edema perifer dan edema paru. Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume besar (biasanya paru-paru), penggunaan dalam jumlah besar menyebabkan akumulasi natrium. 2. Ringer Laktat (RL) Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa = 28-30 mEq/l. Kemasan : 500, 1000 ml. Cara Kerja Obat : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan. Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob. Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat. Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru. Peringatan dan Perhatian : ”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-eklamsia. 3. Dekstrosa Komposisi : glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%). Kemasan : 100, 250, 500 ml. Indikasi : sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar kreatinin kurang dari 25 mg/100ml). Kontraindikasi : Hiperglikemia. Adverse Reaction : Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis. 4. Ringer Asetat (RA) Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat) dimana laktat terutama dimetabolisme di hati, sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan bikarbonat masif yang terjadi pada diare. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah seharusnya diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini dikarenakan adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi; loading cairan saat induksi anestesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi. Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal. Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter di atas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia). Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke iskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran terhadap edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan pada stroke akut, terutama bila ada dugaan terjadinya edema otak. Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (denyut jantung dan tekanan darah sistolik-diastolik). Cairan Koloid Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek samping lebih banyak, dan lebih mahal. Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan osmose plasma. 1. Albumin Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%). Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi di dalam jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil. Indikasi : • Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia, hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary bypass, hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan luka bakar. • Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan albumin dan furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan berat badan secara bersamaan. • Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi, kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi inflamasi, dan ekskresi renal berlebih. • Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari sirosis. Sirosis memacu terjadinya asites/penumpukan cairan yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan utama, sedangkan penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal impairment dan kematian. Adanya bakteri dalam darah dapat menyebabkan terjadinya multi organ dysfunction syndrome (MODS), yaitu sindroma kerusakan organ-organ tubuh yang timbul akibat infeksi langsung dari bakteri. Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat. Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25. 2. HES (Hydroxyetyl Starches) Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin. Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler. Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan. Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena : • Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas. • Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid. • Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis refraktori. • HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler. Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena : • Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli. • HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia. • HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal). • Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin pada pasien dengan sepsis. Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus. Contoh : HAES steril, Expafusin. 3. Dextran Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa. Indikasi : • Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler perifer. • Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan menurunkan viskositas darah, dan menghambat agregasi platelet. Pada suatu penelitian dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten jika dibandingkan dengan gelatin dan HES. Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik (trombositopenia, hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal jantung, gangguan ginjal dengan oliguria atau anuria yang parah. Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-molekul dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek pendarahan yang signifikan. Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale II, plasmafusin. 4. Gelatin Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine. Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan, Pada sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa gelatin memiliki efek antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES. Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus dihindari pada keadaan hiperkalsemia. Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan 20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi bila dibandingkan dengan starches. Contoh : haemacel, gelofusine. Cairan Khusus Contoh dalam kelompok ini seperti cairan mannitol. Daftar Pustaka Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment Critical Care Third Edition. McGraw Hill. Brenner M., Safani M., 2005. Critical Care and Cardiac Medicine. Current Clinical Strategies Publishing. Carpenter D.O., 2001. Handbook of Pathophysiology. Springhouse Corporation. Singer M., Webb A.R., 2005. OxfordHandbook of Critical Care 2nd Edition. Oxford University Press Inc. Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.

Minggu, 04 Desember 2011

LAPORAN PENDAHULUAN ‘BRONCHOPNEUMONEA’

I. KONSEP MEDIK A. Pengertian Bronchopneumonea adalah radang pada paru-paru yang mempunyai penyebaran berbecak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Brunner dan Suddarth, 2001). B. Etiologi 1. Bakteri contohnya : Diplococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia. 2. Virus contohnya : Virus Influenza, Virus Parainfluenza. 3. Jamur contihnya : Histoplasma cospulatum, Caudida, Kriptococcus dan blastomises. C. Patofisiologi Bakteri, virus ataupun jamur menyerang ventilasi maupun difusi. Suatu reaksi influenza yang terjadi pada alveoli dan menghasilkan eksudat yang mengganggu gerakan dan difusi oksigen dan karbondioksida, sel-sel darah putih, neotrofil juga bermigrasi ke alveoli dan memenuhi ruang yang biasanya berisi udara. Area paru tidak mendapat ventilasi yang cukup karena sekresi edema mukosa dan broncospasme menyebabkan okulusi partial bronki atau alveoli yang mengakibatkan penurunan tekanan oksigen alveoli. Keadaan demikian mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen sehingga tubuh harus meningkatkan frekuensi ke dalam bernapasnya. II.PROSES KEPERAWATAN. 1. Pengkajian Pada pengkajian dengan pasien Bronkopnemonia maka harus diidentifikasi akan adanya demam, mengigil, dan adanya nyeri dada yang dicetuskan pada saat bernapas dan batuk,kaji akan adanya bunyi napas tambahan seperti ronchi, whezzing, apakah napasnya sesak dan cepat, apakah dalambernapas tampak pernapasan kuping hidung.Identifikasi akan adanya rasa lelah akibat peradeangan dan hipoksia periksa atau tanda-tanda sianosis yang mungkin timbul. 2. Diagnosa Keperawatan  Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi lendir di jalan napas.  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan perubahan fungsi pernapasan  Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan  Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan  Kecemasan berhubung dengan kurangnya pengetahuan dengan penyakit yang terjadi 3. Interfensi Keperawatan 1) Diagnosa keperawatan : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi lendir di jalan napas. Tujuannya : menunjukan jalan napas yang efektif atau bersih Intervensi :  Kaji atau pantau pernapasan klien Rasionalnya : mengetahui frekuensi pernapasan klien sebagai indikasi dasar gangguan pernapasan.  Auskultasi bunyi napas tambahan Rasionalnya : adanya bunyi napas tambahan yang menandakan gangguan pernapasan.  Berikan posisi yang nyaman misalnya posisi semi fowler Rasionalnya : posisi semi fowler memungkinkan ekspansi paru lebih maksimal  Terapi inhalasi dan latihan napas dalam dan batuk efektif Rasionalnya : mengeluarkan sekret.  Lakukan program pengobatan Rasionalnya : memperbaiki pernapasan. 2) Diagnosa keperawatan : pola napas tidak efektif berhubung dengan obstruksi saluran pernapasan. Tujuannya : pola napas efektif Interfensinya :  Berikan O2 sesuai program. Rasionalnya : mempertahankan O2 arteri.  Kaji atau pantau frekuensi pernapasan Rasionalnya : indikasi adanya gangguan pernapasan.  Berikan posisi semi fowler Rasionalnya : meningkatkan pengembangan paru.  Bantu dalam terapi inhalasi Rasionalnya : kemungkinan terjadi kesulitan bernapas akut. 3) Diagnosa keperawatan : gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan. Tujuannya : pertukaran gas menjadi adekuat. Interfensi :  Monitor / kaji tanda-tanda vital, kesulitan bernapas, retraksi stomal. Rasionalnya : data dasar untuk pengkajian lebih lanjut.  Alat emergensi harus tersedia dengan baik. Rasionalnya : persiapan emergensi terjadinya masalah akut pernapasan.  Suction jika ada indikasi Rasionalnya : meningkatkan pertukaran gas.  Berikan terapi inhalasi. Rasionalnya : melonggarkan saluran pernapasan. 4) Diagnosa keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan perubahan fungsi pernapasan. Tujuannya : intoleransi aktivitas tertasi. Interfensi :  Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat beraktivitas. Rasionalnya : merencanakan intervensi yang tepat.  Bantu pasien dalam melakukan aktivitas. Rasionalnya : ADL-nya dapat terpenuhi.  Lakukan istirahat yang adekuat setelah beraktivitas. Rasionalnya : membantu mengembalikan energi.  Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet. Rasionalnya : metabolisme membutuhkan energi. 5) Diagnosa keperawatan : kecemasan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang terjadi. Tujuannya : kecemasannya teratasi. Interfensi :  Kaji tingkat kecemasan. Rasionalnya : mengetahui sejauh mana kecemasan yang di alalmi.  Berikan penjelasan tentang prosedur pengobatan dan penyakit yang sedang terjadi. Rasionalnya : menghilangkan kecemasan karena ketidaktahuan.  Berikan ketenangan dengan memberikan lingkungan yang nyaman. Rasionalnya : lingkungan yang nyaman membantu memfokuskan pikiran.  Lakukan hubungan yang lebih akrab dengan pasien. Rasionalnya : menimbulkan kepercayaan dan pasien merasa nyaman.  Membantu pasien dalam kemampuan koping. Rasionalnya : koping yang positif dapat menurunkan kecemasan. PENGKAJIAN FISIK I. DATA BIOGRAFI A. Identitas Klien Nama : An. A Umur : 27 hari Pekerjaan : tidak ada Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Jl. Sejiwa No. 37 Status : Dibawah umur Suku/Bangsa : Makassar/Indonesia Diagnosa Medik : Bronchopneumonia Tanggal Pengakajian : 08 Agustus 2005 Nomor Medik : 05 74 74 B. Identitas Penanggung Jawab Nama : Tn. S Umur : 18 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Wiraswasta Hubungan dengan klien : Ayah Kandung II. RIWAYAT KESEHATAN 1. Keluhan Utama : Sesak napas. 2. Riwayat Keluhan Utama Klien masuk rumah sakit Labuang Baji, pada tanggal 4 agustus 2005 dengan keluhan sulit bernapas sejak enam hari yang lalu disertai batuk. Ibu klien mengatakan anaknya bertambah sesak ketika menangis, dan berkurang ketika anaknya tertidur. Klien tidak mampu beraktivitas bila sesaknya timbul, keluhan ini dirasakan secara bertahap dengan kualitas yang agak berat serta menyebar disekitar dada klien. 3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu  Ibu klien mengatakan anaknya tidak pernah dirawat di rumahsakit dengan keluahan yang sama.  Klien tidak pernah mengalamikecelakan sebelumnya.  Klien tidak pernah dioperasi sebelumnya. 4. Informasi Kesehatan Sekarang  Klien tidak pernah alergi terhadap makanan dan obat-obatan.  Klien mempunyai kebiasaan minum susu.  Klien belum mendapatkan imunisasi. 5. Riwayat Kesehatan Keluarga  Genogram Klien  Riwayat keluarga • Klien adalah anak pertama dari orangtuanya • Klien tinggal serumah dengan bapak, ibu, nenek dan kakek serta tantenya. • Tidak ada riwayat keluarga klien perokok. III. KEADAAN KESEHATAN UMUM 1. Keadaan umum : Klien nampak sesak dan batuk 2. Pemeriksaan Autropinutri LK : 34 cm LLA : 10 cm LD : 32 cm LLB :9 cm LP : 30 cm TB : 50 cm LPA :13 cm BB : 2,7 Kg 3. Tanda-tanda Vital : Nadi : 150 x/mnt Pernapasan : 64 x/mnt Suhu : 37,4 ÂșC IV. PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Kulit • Kulit klien halus dan turgornya baik • Tidak terdapat lesi pada kulit klien • Warna kulit klien sawomatang. 2. Kepala Dan Leher a. Kepala • Inspeksi : rambut klien hitam dan penyebarannya rata, bentuk kepala mesec hepal, rambut klien lurus, tidak terlihat luka pada kepala klien, ubun-ubun besarbelum tertutup. • Palpasi : Tidak teraba adanya massa, rambut tidak mudah tercabut. b. Mata • Inspeksi : Sklera berwarna putih, konjungtifa merah muda, bola mata dapat bergerak kesegalah arah. • Palpasi : tidak terdapat benjolan bola mata. c. Telinga • Inspeksi : telinga simetris kiri dan kanan, tidak ada tanda-tanda peradangan, tidak memakai alat bantu. • Palpasi : tidak teraba adanya massa. d. Hidungan dan Sinus • Inspeksi : hidung simetris kiri dan kanan, tidak ada obstruksi peradangan dan pendarahan, terpasang O2 ½ liter/mnt, pernapasan cuping hidung. e. Mulut dan tenggorokan. • Inspeksi : tidak terlihat peradangan pada gusi, gigi belum ada. • Palpasi : tidak teraba adanya massa. f. Leher • Inspeksi : Tidak nampak pembesaran tiroid, tidak nampak adanya massa. • Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tiroid, tidak teraba adanya massa. 3. Payudara  Inspeksi : Tidak terlihat lesi pada putting susu, tidak tampak adanya massa.  Palpasi : Tidak teraba adanya massa. 4. Dada Dan Paru-Paru  Inspeksi : Bentuk dada menyerupai pigeon chist, frekwensi napas 64 x/mnt, irama ireguler, ekspansi dada simetris kiri dan kanan.  Palpasi : Terdapat retraksi dinding dada, tidak teraba adanya massa.  Auskultasi : Bunyi napas bronkofesikuler, terdengar bunyi napas tambahan yaitu ronchi. 5. Jantung  Inspeksi : Ictuscordis terlihat pada ICS 5.  Palpasi :.Apeks teraba pada ICS 5 midclavicularis kiri.  Perkusi : Suara perkusi redup (dulrus).  Auskultasi : Bunyi jantung satu : Murni (penutupan katup mitralis dan trihuspidalis), bunyi jantung dua :murni(terbukanya katup mitralis dan trihuspidalis). 6. Abdomen  Inspeksi : tidak nampak pembesaran pada abdomen, tidak tampak lesi.  Palpasi :.tidak teraba adanya massa, hepar tidak teraba.  Perkusi :.suaraperkusi tympani.  Auskultasi :peristaltik 10 x/mnt. 7. Genitalia Dan Anus  Inspeksi : tidak ada kelainan pada organ kelamin.  Palpasi :. Tidak teraba adanya massa. 8. Ekstremitas 1. Ekstremitas atas  Tidak terdapat atropi ataupun hipertropi.  Kuku klien tumbuh dengan baik.  Tidak terdapat edema.  Kedua tangan dapat bergerak bebas. 2. Ekstremitas bawah  Tidak terdapat atropi maupun hipertropi.  Kuku klien tumbuh dengan baik  Tidak terdapat edema.  Kedua kaki dapat bergerak bebas. 9. Status Neurologis ( Tidak Dikaji ) V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM WBC : 2.400 /mm3 (N : 5.000-10.000/ mm3) RBC : 4.18 Jt/ mm3 (N : 4.5-5.5 Jt/ mm3) HGB : 14,0 gr % (N : 13-16 gr %) NCT : 43,4 % (N : 40-48 %) PEMERIKSAAN RADIOLOGI Foto thoraks hasilnya : terdapat bercak-bercak halus pada kedua paru. VI. POLA KEGIATAN SEHARI-HARI VII. POLA INTERAKSI SOSIAL Orang yang terdekat dengan klien adalah Ibunya. VIII. KESEHATAN SOSIAL  Status rumah milik kakek dan nenek klien.  Tidak terkena banjir.  Rumah klien tenang. IX. KEGIATAN KEAGAMAAN Klien belum dapat melakuakan kegiatan keagamaannya. X. PENGOBATAN DAN PERAWATAN a. Pengobatan Ampicilin 3 x 80 mg/IV Gentamicin 2 x 8 mg/IV Dexametazon 2 x 1 mg/IV Invus Dextrose 5 % 7 tts/dtk b. Perawatan Pasang O2 ½ liter/detik. PENGKAJIAN KEBUTUHAN OKSIGENASE 1. Klien tidak pernah menderita penyakit sesak napas dan batuk sebelumnya. 2. Klien menderita batuk dan sifatnya produktif. 3. Batuk klien tidak tentu waktunya. 4. Klien juga menderita sesak napas. 5. Irama pernapasan klien Ireguler, frekwensi pernapasan 64 x/mnt. 6. Terdengar ronchi, terjadi retraksi interhostal 7. Ibu klien mengatakan anaknya seasak. 8. Ibu klien mengatakan anaknya batuk berlendir. 9. Keluarga klien tidak ada yang merokok. Pemeriksaan Laboratorium WBC : 2.400 /mm3 (N : 5.000-10.000/ mm3) RBC : 4.18 Jt/ mm3 (N : 4.5-5.5 Jt/ mm3) HGB : 14,0 gr % (N : 13-16 gr %) NCT : 43,4 % (N : 40-48 %) Pemeriksaan Radiologi Foto thoraks hasilnya : terdapat bercak-bercak halus pada kedua paru.

Laporan Pendahuluan Sindroma Nefrotik

A. PENGERTIAN Merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan fungsi ginjal yang bercirikan hipoproteinemia, oedema, hiperlipidemia, proteinuri, ascites dan penurunan keluaran urine. Terbanyak terdapat pada anak antara 3-4 tahun dengan perbandingan pria : wanita =2:1. Tanda-tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. B. TANDA DAN GEJALA Sebagai sebuah sindroma (kumpulan gejala), tanda / gejala penyakit sindroma nefrotik meliputi : - Proteinuria - Hipoalbuminemia - Hiperkolesterolemia/hiperlipidemia - Oedema Beberapa gejala yang mungkin muncul antara lain hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Proteinuria (85-95%) terjadi sejumlah 10 –15 gram/hari (dalam pemeriksaan Esbach) . Selama terjadi oedema biasanya BJ Urine meningkat. Mungkin juga terjadi penurunan faktor IX, Laju endap darah meningkat dan rendahnya kadar kalsium serta hiperglikemia. C. ETIOLOGI Sebab yang pasti belum diketahui . akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu “auto immune disease” , jadi merupakan suatu reaksi antigen – antibody Umumnya orang membagi etiologinya dalam ; 1. Sindroma Nefrotik Bawaan . Resistem terhadap semua pengobatan .Gejala; Edema pada masa neonatus. Pengjangkokan ginjal dalam masa neonatus telah dicoba tapi tidak berhasil . prognosis infaust dalam bulan- bulan pertama . Sidroma Nefrotik Sekunder Yang disebabkan oleh ; a. Malaria kuartana atau parasit lain b. Penyakit kolagen seperti ; disseminated lupus erythhematosus;.anaphylactoid purpura. c. Glomerunefritis akut atau glomerulonefritis kronik dan trombosis vena renalis. d. Bahan kimia : Trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, senagatan lebah, poison oak, air raksa. e. Amiloidosis, sick sell disease, hiperprolonemia. 2. Syndrome Nefrotik Idiopatik Gambaran klinik : Edema merupakan klinik yang menonjol, kadang-kadang 40% dari berat badan. Pada keadaan anasarka terdapat asites, hidrothoraks, edema scrotum. Penderita sangat rentang terhadap infeksi skunder. Selama beberapa minggu terdapat haem aturia, asotemia dan hipertensi ringan. 3. Glumerulosklerosis fokal segmental D. PATOFISIOLOGI Penyakit nefrotik sindoma biasanya menyerang pada anak-anak pra sekolah. Hingga saat sebab pasti penyakit tidak ditemukan, tetapi berdasarkan klinis dan onset gejala yang muncul dapat terbagi menjadi sindroma nefrotik bawaan yang biasanya jarang terjadi; Bentuk idiopati yang tidak jelas penyebabnya maupun sekunder dari penyakit lainnya yang dapat ditentukan faktor predisposisinya; seperti pada penyakit malaria kuartana, Lupus Eritematous Diseminata, Purpura Anafilaktoid, Grumeluronefritis (akut/kronis) atau sebagai reaksi terhadap hipersensitifitas (terhadap obat) Nefrotik sindroma idiopatik yang sering juga disebut Minimal Change Nefrotic Syndrome (MCNS) merupakan bentuk penyakit yang paling umum (90%). Patogenesis penyakit ini tidak diketahui, tetapi adanya perubahan pada membran glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine (albuminuria). Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindh ke ruang interstitisel, yang menghasilkan oedema dan hipovolemia. Penurunan volume vaskuler menstimulasi sistem renin angiotensin, yang memungkinkan sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron merangsang peninkatan reabsorbsi tubulus distal terhadap Natrium dan Air, yang menyebabkan bertambahnya oedema. Hiperlipidemia dapat terjadi karena lipoprotein memiliki molekul yang lebih berat dibandingkan albumin sehingga tidak akan hilang dalam urine. E. EVALUASI DIAGNOSTIK Urinalisis menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan abnormalitas lain. Jarum biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan histology terhadap jaringan renal untuk memperkuat diagnosis. Terdapat proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema banyak, diuresis berkurang, berat jenis urine meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa toraks hialin, dan granula lipoid, terdapat pula sel darah putih. Dalam urine ditemukan double refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes fungsi ginjal seperti : glomerular fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi . Sedangkan maximal konsentrating ability dan acidification kencing normal . Kemudian timbul perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat perubahan yang progresif pada glomerulus. Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau meninggi sehingga terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik, hiperkolesterolemia, fibrinogen meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak dapat menderita defisiensi Fe karena banyak transferin ke luar melalui urine. Laju endap darah tinggi, kadar kalsium darah sering rendah dalam keadaan lanjut kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia. F. PENATALAKSANAAN 1. Istirahat sampai tinggal edema sedikit. 2. Makanan yang mengandung protein sebanyak 3-4 mg/kgBB/hari :minimun bila edema masih berat. Bila edema berkurang diberi garam sedikit. 3. Mencegah infeksi. Diperiksa apakah anak tidak menderita TBC. 4. Diuretika. 5. Inter national Cooperatife study of Kidney disease in Children mengajukan: a.) Selama 28 hari prednison per os sebanyak 2 kg/kgBB/sehari dengan maksimun sehari 80 mg. b.) Kemudian prednison per os selama 28 hari sebanyak 1,5 mg/kgBB / hari setiap 3hari dalam 1mingggu dengan dosis maksimun sehari : 60mg . Bila terdapat respons selama (b) maka dilanjutkan dengan 4 minggu secara intermiten. c.) Pengobatan prednison dihentikan. Bila terjadi relaps maka seperti pada terapi permulaan diberi setiap hari prednison sampai urine bebas protein. Kemudian seperti terapi permulaan selama 5 minggu tetapi secara interminten. 6. Antibiotika hanya diberikan jika ada infeksi. 7. Lain-lain : Fungsi acites, Fungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada dekompensasi jantung diberikan digitalisasi. G. PROGNOSIS :  Tergantung pada respon anak pada terapi steroid  Kerusakkan dapat diminimalkan bila deteksi dini dan tindakan yang cepat dan terapi untuk menghilangkan proteinuria  80 % anak mempunyai prognosis yang baik H. RENCANA KEPERAWATAN Ketidakseimbangan Volume Cairan : Penurunan (intravaskular) dan Berlebih (ekstravaskular) berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan premeabilitas glumerolus. Tujuan : Terjadi pemenuhan kebutuhan cairan intravaskular dan ekstravaskular yang adekuat yang ditandai dengan : - Penurunan oedema, ascites. - Kadar protein darah meningkat/cukup - Berat badan kembali dalam batas normal - Output urine adekuat (450 – 900 cc/hr) - Tekanan darah dalam batas normal (D < 54 S > 90) Intervensi Rasional Catat intake dan output secara akurat Kaji dan catat TD, Pembesaran abdomen, BJ Urine, nilai laboratorik setiap 4 jam. Timbang BB tiap hari dalam skala yang sama Pegang daerah oedema secara hati-hati, laki-laki mungkin perlu menggunakan penyangga scrotum Berikan steroid (prednison) sesuai jadwal. Kaji efektifitas dan efek samping (retensi Natrium, Kehilangan Potasium) Sesuai indikasi, berikan diuretik dan antasid (untuk mencegah perdarahan GI akibat terapi steroid) Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan TD dan BJ Urine dapat menjadi indikator regimen terapi Estimasi penurunan oedema tubuh Mengurangi cidera yang mungkin timbul, mengurangi oedema Peningkatan ekses cairan tubuh Pengurangan cairan ekstravaskuler sangat diperlukan dalam mengurangi oedema Perubahan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan nafsu makan. Tujuan : Kebutuhan Nutrisi tubuh terpenuhi Kriteria : - Kembalinya nafsu makan - Tidak terjadi hipoproteinemia - Absorbsi kalori dalam jumlah adekuat Intervensi Rasional Catat intake dan output makanan secara akurat Kaji adanya tanda-tanda perubahan nutrisi : Anoreksi, Letargi, hipoproteinemia, diare Pastikan anak mendapatkan makanan dengan diet yang cukup Program anak untuk mempertahankan tingkat energi tubuh Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh Gangguan nutrisi dapat terjadi secara berlahan. Diare sebagai reaksi oedema intestine dapat memperburuk status nutrisi Mencegah status nutrisi menjadi lebih buruk

Jumat, 02 Desember 2011

LAPORAN PENDAHULUAN TYPHOID

1. Pengertian Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Penyakit ini termasuk penyakit endemik di Indonesia, ada 2 sumber penularan-penularan dan typi yaitu pasien dengan typhoid dan yang lebih sering disenut Carie. Sumber penularannya dapat melalui makanan, air yang tercemar dan tinja. Penyakit ini umumnya berkembang di daerah tropis dan tidak tergantung musim serta tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam insidensi. 2. Etiologi Etiologi demam typhoid dan demam para typi adalah S typi, S paratypi B dan S paratypi C. 3. Patofisiologi Kuman S. typi masuk dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh atom lambung sebagian lagi masuk kedalam usus halus dan mencapai jaringan limfoid plague peyeri diilium terminalis yang mengalami perforasi kuman S typi kemudian menembus kelamin pro pria, masuk kealiran limfe dan mencapai kelenjar lince masterial, yang juga mengalami hipertropy setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini. S typi masuk kealiran darah melalui ductus thoracicus, bersarang di palgue peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuleondotil. Endotoksin S typi berperan pada potogenesis demam typhoid, karena membantu terjadinya inflasi lokal pada jaringan tempat S typi berkembang. Demam disebabkan karena S typi danendotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leokosit pada jaringan yang meradang. 4. Manifestasi Klinik Gambaran klinik demam typhoid pada anak biasanya lebih ringan dari pada orang dewasa. Masa tuna 10 – 14 hari. Terinfeksi 4 hari, jika terjadi melalui makanan, sedangkan melalui minuman selama 30 hari, selama inkubasi mungkin ditemukan gejala prodnormal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, nafsu makan kurang, menyusul menistasi klinik yang mungkin ditemukan. a). Demam. Pada kasus yang khas berlangsung 3 minggu, bersifat febris remile dan suhu tinggi sekali, selama minggu I suhu badan berangsur – angsur naik khususnya pada sore dan malam harii, dalam minggu ke II pasien berada dalam keadaan demam, minggu ke III suhu normal. b). Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdap[at bau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah tertutup selaput kotor (Coeted tongue-togue) ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai termor,hati dan limfe membesar disertai nyeri pada perabaan dan biasanya terjadi kntifasi atai diare. c). Gangguan Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun, walaupun tidak beberapa lama, yaitu apatis sampai sammolen. 5. Pemeriksaan Dragnostik Pemeriksaan Laboratorium :  Darah tepi terdapat gambaran leukopenis, limfosintosis bersifat relatif mungkir terdapat enemia dan trombositomenia ringan.  Pemeriksaan SGOT dan SGPT.  Biakan darah : biakan empedu untuk menemukan sallmonela typosa dan pemeriksaan widal untuk menentukan diagnostik penyakit eaksi widal tungga dengan titer antibody 1/160 atau titer antibody H 1/320.  Pemeriksaan urine rutin (makrokopis). 6. Komplikasi Dapat dibagi dalam : a).Komplikasi intestinal - perdarahan usus - perforasi usus. - Ileus pralatik. b). Komplikasi ekstra intestinal. - komplikasi karbodiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septis) meokarditis trombosit. - Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolestitis. - Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, perinefritis. 7. Pengobatan Obat-obatan yang sering digunakan yaitu : a). Klorafenicol merupakan obat pilihan utama, dosis 250 – 500 mg/kg BB/hari. Lama pemberian ; 10 hari untuk demam typhoid ringan dan 14 hari untuk demam typhoid berat. b). Trafenical. Sama dengan klorafenical, dengan komplikasi hematogolis c). Ampicilin dan amoxilin Dosis 500 mg/Kg BB/hari. d). Corficosteroid. Apabila keadaan toksiddan komplikasi berat (perdarahan dan perforasi), misalnya predmison 2 mg/Kg BB/hari. Bila terjadi keadaan khusus : a). makanan cairan persode (bila kesadaran menurun). b). IVFD bila terjadi dehidrasi beratt, keadaan tosik. Untuk menanggulangi sirkulasi : - Renjatan : RL 20 –30 cc/kg BB/hari. - Renjatan berat : RL distop sampai tekanan darah terukur dan nadi teraba, kemudian disesuaikan dengan keadaan penderita. Menjamin infake cairan (dengan komplikasi perdarahan ). - cairan dex 5 % : RL (2:1). - Jumlah cairan disesuaikan dengan umur dan BB person. - Bila ada tanda asidosis : nabic 7 %, 3 meg kg Bolus. c). untuk pemeriksaan obat berkesinambungan : cairan DEX 5 % d). Hipereksia diberikan kompres dingin. e). konstipasi diberikan lavement gliserin. PENYIMPANGAN KDM Makana yang terkontaminasi salmonella typhoid atau salmonella paratyphoid A, B, C. Masuk kedalam usus halus Kerusakan mukola Terjadi proses inflamasi di Mempengaruhi Usus halus usus halus rangsangan nervus vagusdalam menyampaikan refleks lokal kenasovagus merangsang Masuk ke dalam aliran darah Sekresi Asam lambung reseptor nyeri mengeluarkan bakteri melepas merangsang thalamus neorotrasmiterbredikinin, endoteksin bagi distal sebagai pusat serotonia dan histamin. Yang Menimbulkan mual dihaturkan ke SSP merangsang sintesa dalam pelepasan zat pirogen oleh nafsu makan persepsi nyeri leokosit pada jaringan yang berkurang merangsang gangguan rasa imfuls disampaikan hipotalamus nyaman nyeri bagi thermoregulasi melalui Infek nutrisi duktus tharacicus. Berkurang Dilatasi pembuluh peningkatan suhu tubuh metabolisme glukosa Darah terganggu Evaporasi gangguan keseimbangan pembentukan ATP Berlebihan suhu tubuh hypertermi dan ADP terganggu Dehidrasi kurang pengetahuan energi berkurang Tentang penyakit dan terjadinya kelemahan Metabolisme tubuh otot Peningkatan reabsorpsi merangsang susunan merupakan aktivitas Cairan pada usus halus saraf ototnom stessor terganggu psikologis Facces mengeras mengaktifasi necpinephrine Konstipasi Saraf simpati Gangguan eliminasi terangsang untuk memacu BAB konstipasi Ras mengaktifkan kerja organ tubuh. Rem Pasien terjaga ggn Istirahat Tubuh ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian Data Subjektif - Pola hidup sehari-hari Kebeasan mengkomsumsi makanan yang tidak di olah dengan baik sumber air yang tidak sehat serta kebersihan perorangan yang buruk. - Riwayat penyakit sebelumnya. Apakah klien pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya - Riwayat Keluarga Apakah di dalam keluarga ada yang pernah menderita penyakit yang sama. - Keluhan yang dirasakan klien dikaji lengkap dengan PQRST. - Peningkatan suhu tubuh yang berfluktuasi. - Tubuh lemah - Kurang nafsu makan - Perut kembung. - Konstipasi. - Nyeri abdomen. Data Objektif - Peningkatan suhu tubuh - minggu 1 demam intermtten - minggu II demam remittem - minggu III Demam Kontinyu - Realisasi berdikari Peningkatan satu derajat celcius suhu tubuh akan dsisertai dengan pembakaran denyut nadi namun pada sebagian dapat dijumpai justru denyut nadfi sebaliknya - Lidah kotor Tanda ini jelas mulai tampak minggu kedua berhubungan dengan infeksi sistemik dan indotoksin kuman - Hepatomegali dan splemegalin Pembesaran hepar dan klien mengidentifikasikan res yang mulai terjadi pada minggu kedua - Tanda murphy positif Menandakan infeksi kandung kemih - Peristaltik Dijumpai penurunan peristaltik atau bahkan menghilang - Konstipasi atau diare Konstipasi terrjadi pada minggu pertama dan selanjutnya dapat terjadi diare. - Distensi abdomen dan n yeri - Hematemesis dan melena Dapat terjadi pendarahan ulkus ilium yang akan menyebabkan hemtensis dan melena, distensi abdomen hyperperistaltik . - Tanda –tanda gangguan sirkulasi akibat pendarahan. - Perubahan tanda tanda vital khususnya suhu tubuh dan tekanan darah. - Kulit pucat, - Penuruna kesadaran. - Tanda-tanda peritonitas - suhu tubuh sangat tinggi - distensi tubuh sangat tinggi - Kesadaran menurun - Pemeriksaan darah - Kadar HB, HT, - Leokosit dan Diff - Khas penurunan leokosit karena endotoksin kuman menekan Res dalam memproduksi leokosit. - Pemeriksaan Gaal dan Widal Mengukur kadar atau liter antigen dan flaget yang lebih akurat adalah liter 0, peningkatan kadar liter inimenggambarkan virullisensi kuman-kuman gaal adalah biarkan cairan empedu hasil U yang diharapkan adalah gaal (+) atau ( - ). Diagnosa Keperawatan Interpensi dan Rasional NDX I Hypertermi behubungan dengan infeksi kuman salmonella Tujuan : peningkatan suhu tubuh dapat terkontrol selama proses infeksi berlangsung Intervensi : 1. Upayakan penurunan suhu tubuh berbagai cara - optimalkan proses konfeksi - optimalkan proses evaporasi - optimalkan proses konduksi - optimalkan proses radiasi Rasional : Dengan melakukan berbagai cara untuk menurunkan panas tubuh klien yang tinggi akan tingkat akan kembali normal. 2. klien Bedres total di tempat tidur Rasional : Dengan bedres total mempercepat pemulihan kesehatan dan dapat mencegah timbulnya serangan yang dapat memperburuk keadaan klien. 3. Pemberian obat-obatan. Sesuai dengan jadwal dan dosis pemberian obat lain serta pemberian sesuai program seperti vitamin B-com Rasional : Pemberian obat sesuai dengan jadwal dan dosisnya mempercepat proses penyembuhan dan mencegah proses peningkatan suhu tubuh yang tinggi. 4. Kolaborasi pemberian obat-obatan analgetik Rasioanal : Pemberian analgetik dilakukan jika suhu tubuh turun, analgetik membantu memblok rasa nyeri. NDX II Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia gangguan digesti dan absorpsi nutrisi. Tujuan : mempertahankan nutrisi yang optimal, berat badan dan kadar hemoglobin dalam batas normal. Intervensi : 1. Beri diit makanan TKTP Rasional : Makanan TKTP diberikan kepada klien dengan typhoid dengan tujuan agar kebutuhan kalori dan protein relatif terhadap penyakit yang ada tetap terpenuhi. 2. upayakan peningkatan nafsu makan - Posisi kecil sesuai dengan kemampuan klien Rasional : Mengurangi kebosanan klien terhadap makanan dan memberikan makanan dan kesempatan usus untuk mengabsorpsi makanan yang lebih banyak. NDX III Gangguan ADL berhubungan dengan kelemahan fisik penurunan kesadaran, bedres. Tujuan : kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi ( kebersihan diri,mobilisasi, eliminasi ). Intervensi 1. memberikan semua aktivitas klien di tempat tidur. - memandikan klien di tempat tidur - suapin klien pada saat makan - BAB, BAK dibantu di tempat tidur. Rasional : Kebutuhan klien terpenuhi dan klien merasa diperlukan serat program perawatan dan pengobatan berjalan lancar sehingga proses penyembuhan berjalan lancar. 2. Kaji laporan respon setiap kali melakukan aktrivitas Rasioanl Untuk mengevaluasi keefektifan dan intervensi yang diberikan dan batasi aktivitas jika terjadi peningkatan suhu tubuh. NDX IV Gangguan pola eliminasi BAB, konstipasi, diare berhubungan dengan inflamasi usus. Tujuan : Pola eliminasi BAB klien normal. Intervensi 1. Diare - Intruksikan klien/keluarganya untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi dari faeses Rasional : Volume dari cairan diare , volume yang tinggi ( lebih dari 1 liter/hari) menggambarkan dari kolon. 2. konstipasi Hindari sarapan yang megandung asam lemak. Rasional Asam lemak memperlambat rangsangan reflek dan memperlambat pencernaan. NDX V Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh Tujuan : Dapat istirahat dan tidur dengan nyaman. Intervensi. 1. beri jadwal pengkajian dan intervensi untuk meningkatkan waktu tidur lebih lama seperti memeriksa TTV dan merubah posisi klien pada waktu yang sama Rasional Gangguan tidur terjadi dengan gangguan psikologis dan fisologis. 2. Memberikan lingkungan yang nyaman bagi klien untuk meningkatkan tidur atau istirahat, Rasional Hambatan kortikal pada formasi klien untuk meningkatkan respon otomatik oleh karenanya respon kardiovaskuler terhadap suara meningkat selama tidur. 3. 3. b. c.

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT KUSTA

1. Pengertian Penyakit kusta adalah infeksi kronik pada manusia yang disebabkan oleh mycobacterium leprae, yang merupakan penyakit tropis menular yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, khususnya di negara-negara sedang berkembang. Selain menimbulkan dampak psikologis penyakit inij uga mengakibatkan dampak sosial dan ekonomi ,yang disebabkan oleh sejenis kuman yang diberi nama Mycobacterium leprae, dan terutama menyerang syaraf tepi yang dapat menyebar ke kulit dan juga jaringan lainnya, seperti pada mata, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, otot, tulang dan kelenjar kelamin. 2. Patofisiologi Walaupun penyebab penyakit ini sudah diketahui pada tahun 1873 (lebih dari 100 tahun lalu), namun cara penularannya masih belum diketahui secara pasti. Teori yang paling banyak dianut adalah penularan melalui kontak/sentuhan yang berlangsung lama; namun berbagai penelitian mutakhir mengarah pada droplet infection yaitu penularan melalui selaput lendir pada saluran napas. Mycobacterium leprae tidak dapat bergerak sendiri (karena tidak mempunyai alat gerak) dan tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit, sedangkan ukuran fisiknya lebih besar daripada pori-pori kulit. Oleh karena itu, Mycobacterium leprae yang karena sesuatu hal dapat menempel pada kulit kita, tidak akan dapat menembus kulit kalau tidak ada luka pada kulit kita. Seandainya Mycobacterium leprae tersebut dapat menembus kulit, maka sel-sel darah putih yang merupakan bagian dari sistim pertahanan tubuh akan segera memakannya. 3. Penyebab Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12­24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan asam. Sampai saat ini kuman tersebut belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, dan manusia merupakan satu-satunya sumber penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membiakkan kuman tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang diradiasi, armadillo, kultur jaringan syaraf manusia dan pada media buatan. Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering, dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari. 4. Jenis penyakit kusta. Ada dua jenis penyakit kusta, yaitu tipe basah dan kering. : o Tipe basah disebut Multi Basiler (MB), o Tipe kering disebut Poli Basiler (PB). Jenis manifestasinya tergantung dari derajat kekebalan tubuh penderita (Cell mediated immunity) yaitu dari Kusta yang terbatas (Jenis Tuberculoid) sampai yang menyebar( jenis Lepromatosa) dan Jenis pertengahan yang disebut Kusta Borderline. Secara awam, dikenal sebagai kusta kering dan kusta basah.Jika kusta terlambat diobati maka akan timbul kerusakan saraf dengan akibat berupa: mati rasa (tidak dapat merasakan panas, dingin, nyeri), kelumpuhan otot, buta, dan akibat lain yang disebabkan oleh proses immunologis yang disebut "reaksi kusta". 5. Gejala Gejala penyakit kusta adalah muncul bercak pada kulit seperti panu, tetapi mati rasa. Untuk kusta jenis PB, jumlah bercaknya adalah lima ke bawah dan kurang menular. Sedangkan untuk jenis MB, lebih dari lima buah, basah, dan menular. Permukaan bercak kering dan kasar dan tidak berkeringat, pinggi bercak jelas dan sering ada bintil-bintil kecil. Sementara itu, untuk kusta jenis basah, tanda-tandanya terdapat bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merasa di seluruh kulit badan. Terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak itu. Termasuk pada permukaan bercak masih ada rasa bila disentuh dengan kapas. Pada awalnya, tanda kusta basah, sering terdapat pada telinga dan muka. Jenis ini dapat menular pada orang lain. 6. Prevalensi Ada 20 juta penderita kusta didunia, namun yang mendapatkan pengobatan secara teratur kurang dari separuhnya. Kebanyakan mereka berada di Afrika tengah, Asia Selatan dan Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia tercacat 71.000 pada tahun 1992 dengan prevalensi 3.8/10.000 penduduk (angka sesungguhnya diperkirakan 3 sampai 4 kali jumlah diatas); angka ini diproyeksikan akan terus menurun sampai dibawah 1/10.000 pada tahun 2000 (dikenal sebagai program EKT 2000, atau Eradikasi Kusta Tahun 2000 Jumlah penderita kusta di dunia pada saat ini diperkirakan 12 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis. Di-perkirakan 1,6 milyar penduduk dunia tinggal di daerah endemis berkembang. 7. Diagnosis Diagnosa pasti ditegakkan : bila didapatkan kuman kusta pada kerokan kulit didaerah khas dan pada daerah kuping. Pengobatan penyakit kusta berlangsung 6 – 36 bulan dan bisa gratis di Puskesmas. Pencegahannya dengan menjaga kebersihan pribadi, mandi teratur 2 x sehari dengan sabun, makan 4 sehat 5 sempurna secara seimbang. 8. Pengobatan Sejak tahun 1941, digunakan DDS (Diethyl-Diphenyl-Sulphone) yang dikenal juga sebagai Dapson dengan lama pengobatan seumur hidup. Sejak 1982 WHO memperkenalkan MDT (multiple drug therapy), yang di Indonesia dimulai sejak 1983 dengan menggunakan Rifampicin dan DDS (untuk kusta kering, dengan lama pengobatan 6 bulan). Untuk kusta basah, masih ditambah dengan Lamprene dengan lama pengobatan 2 tahun. Panduan terbaru dari WHO (1998) menyatakan bahwa untuk pengobatan kusta basah, cukup 1 tahun saja. Dengan pengobatan MDT, Mycobacterium leprae didalam tubuh penderita akan mati dalam waktu 2 X 24 jam. Masa pengobatan yang cukup lama (6 bulan atau 1 tahun) dimaksudkan untuk mematikan kuman yang "bangun dari tidurnya". Pada beberapa keadaan, ada Mycobacterium leprae yang "tidur" (istilah asingnya adalah dormant), dimana metabolismenya praktis nol (mirip dengan binatang berdarah panas yang tidur sepanjang musim dingin) sehingga walaupun ada obat yang mematikan, namun kuman tidak mengambilnya karena memang tidak mengambil bahan makanan sama sekali sehingga tetap hidup. Diharapkan, selama masa pengobatan tersebut kuman-kuman terbangun sedikit demi sedikit sehingga pada saat masa pengobatan selesai, seluruh kuman telah musnah. Kebijaksanaan umum yang berlaku pada saat ini, sesuai dengan pedoman dari WHO adalah rawat jalan, artinya para penderita kusta yang berobat tidak perlu dirawat di Rumah Sakit kecuali ada keadaan-keadaan khusus yang memang memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Pengobatan yang dapat diberikan kepada penderita, waktunya antara enam sampai 12 bulan. Sebab, sesuai dengan jenis penyakit kusta (ada yang kusta kering dan kusta basah). "Selama pengobatan, penderita harus secara rutin sehingga secara teratur dan tidak boleh berhenti-berhenti, sampai sembuh," DAFTAR PUSTAKA 1. Doungels. 1999.” Rencana Asuhan Keperawatan “. EGC, Jakarta 2. Sandra M.Nettina. 2001 “ Pedoman Praktek Keperawatan “. EGC. Jakarta. 3. Mubin Halim, Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 4. Junadi Purnawan. Edisi Kedua. Kapita Selecta Kedokteran. FK UI. 1982 5. Brunner. Keperawatan Medical Bedah. EGC 6. Jurnal Internat WWW. GOEGLE.Com.